Wayang Kekayon
Inspirasi pendirian Museum Kekayon didapatkan oleh pendiri museum, Prof.DR.Dr. KRT Soejono Prawirohadikusumo, DAS. DAJ., di Rijksmuseum Amsterdam pada tahun 1966 – 1967 (ketika itu beliau sedang menyelesaikan pendidikan S2 Social Psychiatrie di Groningen Nederland. Waktu itu beliau mendapat dorongan yang sangat besar karena pernyataan salah seorang Direktur museum di Amsterdam, bahwa adalah ‘zonde’ bila di Yogyakarta tidak ada Museum Wayang. Beliau juga mendapatkan pengetahuan bahwa mendirikan museum pribadi bukan persoalan kaya atau berduit, tapi persoalan motivasi, ketekunan dan kesabaran. Contoh yang konkret adalah keberhasilan ‘Een gewone Hollandsche ambtenaar’ di Purworejo yang dengan ketekunan luar biasa, bisa mempunyai koleksi yang sangat besar dan berharga (yang pada akhirnya dihadiahkan kepada Museum Nasional Indonesia di Jakarta), setelah puluhan tahun mengumpulkan koleksi tersebut dari sisa salari-nya (dia bukan seorang milyuner). Yang membuat dia berhasil adalah ketekunan, kesabaran, motivasi dan panjangnya tahun (selama ini bagi dia, tidak ada hari tanpa menambah koleksi). Dalam ilmu kedokteran jiwa, dalam menghadapi perjalanan hidupnya, manusia memerlukan suatu kadar obsesi tertentu yang optimal (disebut obsesi normal) supaya dapat mencapai cita”nya. Disamping itu kuriositas dan haus akan pengetahuan akan melengkapi kesenangan terhadap sesuatu obyek. Wayang merupakan warisan nenek moyang yang sarat akan falsafah hidup Jawa, etika dan estetika yang tidak akan lapuk dalam derasnya banjir kebudayaan asing. Sejak abad ke-11 sampai sekarang, dikenal tidak kurang dari 20 macam wayang sesuai era-era sejarah. Wayang memang bukan sesuatu yang statis, tetapi dinamis, tumbuh sesuai dengan jamannya. Bila warisan tsb tidak dilestarikan, adalah suatu ‘zonde’. Inilah salah satu alas an pendirian Museum Wayang Kekayon. Selain itu, menurut ilmu kesehatan jiwa, pendidikan anak harus mendapatkan alokasi yang seimbang antara unsur modernisasi dan transmisi kebudayaan nenek moyang. Bila anak hanya mendapatkan pendidikan modern saja (intelektualisme dengan teknologinya dan kaidah” modernisme) maka anak akan menjadi anak yang modern tetapi kurang ‘unggah-ungguh’. Bila anak hanya mendapat transmisi kebudayaan nenek moyang saja, anak akan menjadi konservatif (kuno). Sebaliknya bila anak mendapat alokasi yang seimbang antara kebudayaan nenek moyang dan kebudayaan modern, maka anak akan menjadi anak yang fleksibel (ajur-ajer) dan tidak menjadi orang yang dalam Serat Wedhatama disebut sebagai ‘gonyak-ganyuk nglelingsemi’. Menurut ilmu kesehatan jiwa, manusia dikatakan mature (dewasa) bila sebelum dia meninggal telah mentransformasikan seluruh atau sebagian besar ilmu pengetahuannya, keahliannya, dan lain-lain kelebihannya kepada generasi penerus.